• Kategori

  • Arsip

Cerpen: Hana

Akutagawa Ryunosuke

 

Semua orang di Ikeno O (suatu kampung di pinggiran kota Kyoto) tidak ada yang tidak tahu tentang hidung Pendeta Naigu. Panjangnya sekitar 16 sentimeter, menjuntai dari bibir atas hingga ke bawah dagunya. Baik ujung maupun pangkalnya berbentuk sama besar. Pendek kata seperti sosis yang bergayut dari pertengahan wajahnya.

Usia Naigu sudah lebih dari 50 tahun. Sejak sebagai calon pendeta hingga menjadi pendeta kepala, batinnya sebenarnya tersiksa karena bentuk hidungnya itu. Tentu saja kesedihan itu tidak tampak pada roman mukanya, karena ia pikir sebagai pendeta tidak baik bila hanya memikirkan hidung melulu. Ditambah lagi dengan keinginannya masuk surge. Lebih daripada itu, ia tidak ingin orang lain mengetahui keadaan batinnya. Naigu merasa cemas dengan segala omongan orang tentang hidungnya dalam pembicaraan sehari-hari.

Naigu punya alasan berkenaan dengan hidungnya yang merepotkan itu. Salah satunya dengan kenyataan bahwa hidungnya yang panjang itu tidak praktis. Pertama-tama sewaktu ia makan tidak dapat melakukannya sendiri. Bila makan sendiri ujung hidungnya akan menyentuh nasi di dalam mangkuk. Karena itu, jika sedang makan Naigu menyuruh seorang muridnya untuk duduk di sampingnya dan mengangkat hidungnya dengan sebilah papan sepanjang kurang-lebih 60 sentimeter dan lebar sekitar lima sentimeter. Tapi, makan dengan cara demikian bagi Naigu maupun muridnya merupakan hal yang tidak mudah. Suatu kali, tangan seorang murid bernama Chudoji yang menggantikan murid yang biasanya membantu Naigu terguncang ketika bersin dan hidung Naigu terjatuh ke dalam mangkuk bubur. Cerita tentang jatuhnya hidung Naigu ke dalam mangkuk bubur itu tersebar sampai ke Kyoto. Meski demikian, tidak ada alasan kuat baginya untuk merasa sedih dengan kodrat hidungnya itu, walaupun sebenarnya batinnya sangat sedih karena hidungnya itu.

Orang-orang di Ikeno O mengatakan bahwa Naigu beruntung karena ia seorang pendeta, bukan orang biasa. Dengan hidung demikian, siapapun tentu akan berpikir tidak ada seorang perempuan pun yang bersedia menjadi istrinya. Di antara orang-orang itu ada pula yang mengatakan bahwa Naigu menjadi pendeta mungkin karena hidungnya itu. Naigu samasekali tidak merasa tenang dengan hidungnya, meskipun dirinya seorang pendeta. Naigu peka sekali terhadap persoalan hidup yang dihadapinya, seperti masalah perkawinan misalnya. Karena itu Naigu mencoba mengembalikan kehormatannya yang ternoda dengan berbagai cara.

Pertama-tama yang dipirkan Naigu adalah mencari cara agar hidungnya yang panjang itu menjadi tampak lebih pendek. Ketika tidak ada orang, ia menghadap ke cermin dengan serius sambil melihat wajahnya dari berbagai sudut. Terkadang tak puas hanya dengan mengubah letak, ia lantas menopang pipi dengan tangan, meletakkan jari di ujung dagu, dan terkadang pula ia melihat mukanya di cermin dengan sungguh-sungguh. Tapi, hingga sekarang, hidungnya tidak tampak cukup pendek hingga dapat memuaskan dirinya. Malah terkadang semakin dicemaskan hidungnya semakin terlihat bertambah panjang. Pada saat-saat demikian, sambil meletakkan cermin kembali ke dalam kotak, ia mengeluh seolah-olah itu adalah hal baru, dan lantas dengan berat hati ia kembali ke meja membaca kitab Kan On.

Setelah itu Naigu kembali terus-menerus memperhatikan hidung orang lain. Kuil Ikeno O adalah kuil yang sering mengadakan ceramah dan upacara-upacara lainnya. Di dalam kuil ini terdapat berderet-deret kamar para pendeta, dan setiap hari para pendeta memasak air panas di tempat pemandian. Karena itu, tempat tersebut banyak dilalui oleh para pendeta maupun orang biasa. Naigu memperhatikan wajah orang-orang yang berlalu-lalang itu. Ia cemas karena tidak melihat seorang pun yang hidungnya serupa dengan hidungnya. Lantaran itu, sampai-sampai ia tidak dapat membedakan antara pakaian berburu biru tua dengan pakaian musim panas yang putih. Apalagi penutup kepala oranye dan jubah abu-abu yang biasa mereka kenakan samasekali tidak tampak berbeda di matanya. Naigu tidak melihat orang, hanya hidungnya saja yang dilihatnya…. Meskipun ada yang berhidung mancung, tak ada seorang pun yang memiliki hidung seperti dirinya. Semakin tidak menemukan orang yang sama dengannya, semakin batinnya merasa tidak nyaman pula. Sewaktu berbicara dengan orang lain, tanpa sadar Naigu memegang ujung hidungnya yang menjuntai, wajahnya merah-padam karena malu merasa menjadi orang tua yang lupa umur. Tingkah lakunya digerakkan oleh perasaan yang samasekali tidak menyenangkan.

Naigu setidak-tidaknya akan merasa lega seandainya di dalam kitab Buddha dan kitab-kitab lain terdapat cerita tentang orang yang memiliki hidung yang sama dengan dirinya. Tapi, di dalam kitab suci manapun tidak terdapat tulisan yang mengisahkan tentang hidung Mokuren, seorang pengikut Buddha yang terkenal berhidung panjang. Tentu saja Ryuju dan Memyo memiliki hidung seperti orang biasa. Ketika mendengar bahwa di dalam cerita Cina terdapat kisah Ryugentoku dari Shokkan yang bertelinga panjang, ia tidak merasa lega. Ia akan merasa lega seandainya yang panjang itu adalah hidungnya.

Tidak perlu dijelaskan secara khusus di sini bahwa di satu sisi merasa puyeng dengan keadaan itu, ia juga aktif mencari cara untuk memendekkan hidungnya itu. Naigu sedapat mungkin berusaha melakukan hal itu. Ia pernah mencoba minum rebusan labu air, juga pernah mengolesi hidungnya dengan air kencing tikus. Tapi, bagaimanapun juga, hidungnya masih tetap menjuntai dari atas bibir atas kurang-lebih 16 sentimeter seperti semula.

Suatu ketika di musim gugur, salah satu muridnya yang pergi ke Kyoto atas suruhan Naigu bertemu dengan seorang tabib kenalannya yang mengajarkan cara memendekkan hidung. Tabib itu berasal dari Cina dan pernah menjadi Guso di Kuil Choraku.

Naigu, seperti biasa, tidak berkomentar apapun tentang usul itu dan pura-pura tidak memedulikan hidungnya. Di lain pihak, ia menggerutu karena setiap kali makan selalu menyusahkan muridnya. Tentu saja di dalam batinnya ia berharap muridnya itu akan mendesaknya untuk mencoba cara baru itu. Demikian pula, muridnya tahu persis apa yang sebetulnya diinginkan oleh Naigu. Murid itu, sebagaimana dikehendaki oleh Naigu, mendesaknya untuk mencoba cara itu. Selanjutnya Naigu sendiri, sesuai harapannya, akhirnya menerima anjuran yang sungguh-sungguh itu.

Caranya  sangat sederhana, yakni hanya dengan mencelupkan hidungnya ke dalam air panas, kemudian diinjak-injak dengan kaki. Setiap hari mereka merebus air di pemandian kuil. Murid itu menuangkan air sangat panas ke dama ember yang diambil dari tempat pemandian. Saking panasnya sampai-sampai ia tak sanggup mencelupkan tangan ke dalamnya. Karena khawatir bila langsung mencelupkan hidung ke ember wajah Naigu akan melepuh, mereka membuat lubang di baki yang diletakkan di atas ember yang penuh dengan air panas sebagai tempat masuk hidung. Dengan hanya mencelupkan hidung ke dalam air yang sedang mendidih, maka panasnya tidak terasa di wajah. Beberapa saat kemudian murid itu berkata, “….Sudah saatnya direbus.”

Naigu tersenyum kecut, karena terbayang jika ada orang yang mendengarnya tentu tak akan berpikir bahwa yang sedang dibicarakan itu adalah hidung. Setelah direndam di dalam air yang sangat pans, hidung itu terasa gatal seperti digigit kutu. Dengan sekuat tenaga murid itu mulai menginjak-injak hidung Naigu yang masih mengepulkan asap karena baru saja dikeluarkan dari lubang baki. Naigu berbaring miring dan meletakkan hidungnya di atas yukaita; saat itu ia melihat kaki muridnya bergerak naik turun di depan matanya. Terkadang murid itu merasa kasihan, dan sembari melihat kepala botak Naigu ia berkata,

“Apa tidak terasa sakit? Tabib menyuruh menginjak dengan keras. Tapia pa tidak sakit?”

Naigu berusaha menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia tidak merasa kesakitan. Tapi karena hidungnya sedang diinjak-injak, maka ia tidak bisa menggelengkan kepala seperti yang dikehendakinya. Sambil menatap kaki muridnya, yang kulitnya pecah-pecah, dengan membelalakkan mata ia menjawab dengan suara yang terdengar marah.

“Tidak sakit!”

Sebenarnya, sewaktu diinjak-injak pada bagian yang gatal, hidungnya justru terasa lebih enak daripada terasa sakit.setelah diijak0injak beberapa waktu maka mulai keluarlah semacam butiran-butiran jewawut. Dapat dibilang hidung Naigu seperti burung yang dipanggang setelah dicabuti bulunya. Ketika melihat hal itu, sang murid berhenti menginjaknya dan berkata seperti kepada diri sendiri, “Katanya supaya dicabuti dengan pencabut bulu.”

Naigu hanya menggelembungkan pipinya seperti tampak kesal, namun ia tetap membiarkan tindakan muridnya. Tentu saja karena ia mengetahui kebaikan hati muridnya. Walaupun demikian, bukan berarti ia senang hidungnya diperlakukan bagai benda mati. Dengan roman muka seperti pasien yang sedang dioperasi oleh dokter yang tidak meyakinkan, ia mengamati muridnya yang sedang mencabuti butiran lemak dengan pencabut bulu. Lemak itu berbentuk seperti tangkai bulu burung, dan panjangnya sekitar satu sentimeter.

Setelah selesai, dengan wajah terlihat lega si murid akhirnya berkata, “Saya kira sebaiknya direbus sekali lagi.” Dengan muka masam Naigu menuruti perkataan muridnya.

Singkat cerita, setelah direbus untuk kedua kalinya, dan lemaknya dicabuti keluar, maka benar juga hidung itu menjadi pendek. Tak ubahnya seperti paruh burung betet. Naigu mengusap hidungnya yang memendek, dan dengan ragu dan malu-malu dilihatnya di dalam cermin yang diberikan oleh muridnya.

Hidungnya… yang semula menjuntai hingga ke bawah dagu, hamper tak dapat dipercaya, kini menyusut menjadi kecil, menempel di atas bibir atas. Di sana-sini tampak bintik-bintik merah bekas injakan kaki. Bila seperti ini tentu tidak aka nada lagi orang yang menertawakannya. Wajah yang ada di dalam cermin memandang wajah Naigu yang ada di luar cermin, kemudian mengerdipkan mata tanda puas.

Tapi hari itu, baru hari pertama, ia merasa gelisah, takut kalau-kalau hidungnya memanjang kembali. Maka baik sewaktu membaca sutra maupun sewaktu makan, juga setiap ada kesempatan, diam-diam ia mengangkat tangan untuk meraba ujung hidungnya. Tentu saja hidungnya tetap bertengger dengan apiknya di atas di atas bibir atas, tak ada tanda-tanda akan bertambah panjang kembali. Selain itu ketika bangun di pagi hari, yang mula-mula dilakukannya adalah meraba hidung. Hidungnya masih tetap pendek. Maka ia merasakan kebahagiaan yang sudah bertahun- tahun tak dirasakannya, seperti ketika berhasil menyalin sutra.

Tapi dalam dua-tiga hari berikutnya, Naigu mengalami perkembangan yang tidak terduga. Yakni bertepatan dengan datangnya seorang samurai ke Kuil Ikeno O untuk suatu keperluan. Dengan raut wajah seperti merasa aneh, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia hanya memandangi hidung Naigu saja. Tak hanya itu, Chudoji, yang pernah menjatuhkan hidungnya ke dalam bubur, ketika berpapasan dengan Naigu di luar ruangan mula-mula memandang ke bawah menahan rasa geli, tapi akhirnya gelak tawanya pecah tak tertahankan lagi. Tak hanya satu-dua kali saja terjadi, pendeta-pendeta pembantu yang diberinya perintah mula-mula mendengarkan dengan hormat saat berhadapan dengannya, tapi kemudian tertawa terpingkal-pingkal setelah membelakanginya.

Mula-mula Naigu mengira hal itu terjadi karena ada perubahan di wajahnya. Tapi dugaannya meleset, ia tidak mendapat penjelasan yang tuntas…. Tentu saja penyebab Chudoji dan pendeta-pendeta pembantu tertawa adalah karena perubahan itu. Meskipun sama-sama tertawa, tampak berbeda dibandingkan dulu ketika hidungnya masih panjang. Kalau dikatakan bahwa hidungnya yang pendek itu, yang tidak biasa mereka saksikan, lebih menggelikan ketimbang hidungnya yang panjang seperti sebelumnya, itu sudah keterlaluan. Tapi, rupanya lebih daripada itu.

“….Selama ini mereka tidak pernah tertawa secara terbuka seperti itu.”

Ada kalanya Naigu ngedumel seperti itu, lalu berhenti mengkaji kitab sutra yang baru dibacanya, sambil memiringkan kepalanya yang botak. Kalau sudah begitu, Naigu yang mestinya penuh kasih-sayang tampak tak tenang, dan sambil memandang gambar Fugen yang tergantung di sebelahnya, ia terbuai oleh lamunan ketika hidungnya masih panjang empat-lima hari lalu. Naigu bermuram durja mengenang masa jayanya, yang sekarang mereka rendahkan…. Tapi sayang, Naigu tidak dapat memecahkan persoalan ini.

Dalam hati manusia ada dua perasaan yang saling bertentangan. Tentu saja tidak ada seorang pun yang tidak bersimpati terhadap nasib malang orang lain. Tapi jika ada orang yang ingin berusaha mengatasi nasibnasib buruknya, maka aka nada orang yang tidak suka. Kalau sedikit dilebih-lebihkan, bahkan ada orang yang ingin agar orang yang bernasib malang itu tetap malang, dan bahkan ingin menjerumuskannya. Tanpa sadar berarti orang itu secara pasif sudah menaruh rasa permusuhan kepadanya…. Hal yang entah mengapa membuat Naigu jengkel walaupun tak tahu sebabnya, tidak lain adalah sikap para pendeta dan orang-orang biasa di kuil Ikeno O; ia hanya dapat merasakan egoisme orang-orang itu tanpa menjerumuskannya.

Dengan demikian tiap hari Naigu semakin merasa kesal. Dimakinya setiap orang yang dirasa menjengkelkan. Karena perbuatannya itu, bahkan muridnya yang telah merawat hidungnya itu akhirnya mengumpat dan mengatakan bahwa Naigu pantas mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Chudoji yang jahillah yang sebetulnya membuat dia sangat kesal dan marah.

Suatu hari, ketika terdengar anjing manyalak keras Naigu pergi keluar. Tanpa sengaja ia melihat Chudoji sedang megejar-ngejar anjing kerempeng dengan mengayunkan tongkat sepanjang sekitar 70 sentimeter di tangannya. Tidak hanya itu, ia mengejarnya sambil mengolok-olok, “Awas kupukul hidungmu! Awas nanti kupukul hidungmu.” Naigu merampas tongkat dari tangan Chudoji dan memukulkan ke wajahnya. Tongkat itu adalah tongkat yang dulu dipakai untuk menyangga hidungnya.

Naigu, sebaliknya, merasa menyesal telah memaksakan diri memendekkan hidung.

Pada suatu malam, tiba-tiba berisik suara denting lonceng-lonceng di menara kuil karena hempasan angin kencang terdengar oleh Naigu di pembaringan. Lebih daripada itu, udara terasa sangat dingin. Naigu yang sudah tua itu ingin tidur tapi tidak bisa. Dalam keadaan berbaring tapi tak bisa tidur itu tiba-tiba ia merasakan gatal-gatal pada hidungnya. Ketika diraba terasa hidungnya itu membengkak seperti berisi air. Bahkan sepertinya terasa agak panas.

“Karena saya memendekkannya dengan paksa, mungkin malah menyebabkan sakit.”

Ia menggumam sambil dengan khidmat menekan hidungnya, seperti ketika sedang membakar dupa dan menyajikan kembang kepada sang Buddha.

Keesokan harinya, ketika Naigu bangun pagi-pagi sekali seperti biasa, ia melihat daun-daun pohon Ginko dan Tochi berguguran di taman kuil hingga halaman itu berkulauan bagai disepuh emas. Mungkin disebabkan oleh embun yang turun dari atap menara, Sembilan lingkaran logam yang ada di situ berkilauan terkena cahaya mentari pagi yang masih agakredup. Zenchi Naigu berdiri di serambi  sambil menggulung tirai jendela ke atas, lalu menghela nafas panjang.

Saat itulah sekali lagi muncul perasaan yang sudah hamper dilupakannya.

Naigu buru-buru meletakkan tangannya ke hidung. Yang teraba bukanlah hidung pendek seperti malam sebelumnya, melainkan hidungnya yang dulu, yaitu hidung panjang yang menjuntai 16 sentimeter dari atas bibir atas hingga ke bawah dagunya. Kini ia sadar bahwa hidungnya itu telah memanjang seperti sediakala dalam semalam. Bersamaan dengan itu, entah dari mana, perasaan lega seperti ketika merasakan hidungnya menjadi pendek muncul kembali.

“….kalau seperti sekarang tentu tidak akan ada orang yang menertawakanku lagi,” bisik Naigu dalam hati, sambil mengibaskan hidungnya yang panjang agar diembus sejuknya angin pagi musim gugur.

 

 

 

Catatan                                :

  • Guso     : Nama salah satu jabatan di kuil
  • Yukaita : Lantai papan

 

Biografi Haruki Murakami

images

Haruki Murakami (12 Januari 1949) adalah penulis Jepang kontemporer yang sangat terkenal. Jebolan Universitas Waseda, Tokyo, ini meraih banyak penghargaan di dunia kepenulisan, antara lain Yomiuri Literary Prize (1995); Kuwabara Takeo Academic Award (1998); Frank O’Connor International Short Story Award (Irlandia, 2006); Franz Kafka Prize (Cekoslovakia, 2006); dan Asahi Prize (Japan, 2006). Terakhir, dia meraih Kiriyama Prize 2007, sebuah penghargaan untuk penulis unggul di kawasan Pasifik dan Asia Selatan. Karya-karya Murakami telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa.
Karya-karyanya antara lain
 Norwegian Wood (novel)
 Kafka on the Shore (novel)
 Dengarlah Nyanyian Angin (novel)
Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna (cerpen)

Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna

September 20, 2007
Seorang Gadis yang Seratus Persen Sempurna
Haruki Murakami
PADA suatu pagi di bulan April, di sebuah jalan sempit di sekitar Harajuku, aku berpapasan dengan seorang gadis yang seratus persen sempurna.
Sejujurnya, gadis itu tak terlalu cantik. Dia tidak luar biasa. Pakaiannya juga tak istimewa. Bagian belakang rambutnya masih tertekuk menyisakan bekas habis tidur. Dia sudah tidak terlalu muda lagi, pasti sudah mendekati tiga puluh tahun, bahkan sebetulnya tidak tepat disebut “gadis”. Namun, dari jarak empat puluh meter aku tahu: dialah gadis yang seratus persen sempurna bagiku. Begitu aku melihatnya, ada sesuatu yang bergemuruh di dadaku dan mulutku jadi terasa kering seperti gurun pasir.
Mungkin kau memiliki tipe perempuan kesukaanmu, perempuan berkaki ramping, misalnya, atau bermata lebar, atau berjari lentik, atau kau tertarik tanpa alasan yang jelas kepada para perempuan yang kalau makan lama sekali. Aku punya persyaratanku sendiri, tentu saja. Terkadang di sebuah restoran aku menyadari menatap seorang gadis yang duduk di meja sebelahku karena aku menyukai bentuk hidungnya.
Namun, tak seorang pun ngotot bahwa gadis yang seratus persen sempurna baginya berkaitan dengan tipe tertentu. Walaupun aku amat menyukai bentuk hidung tertentu, aku tidak bisa mengingat bentuk hidung gadis itu, jika hidungnya memang termasuk bentuk hidung kesukaanku. Yang bisa kuingat dengan pasti adalah dia tidak terlalu cantik. Itu aneh.
“Kemarin di jalan aku berpapasan dengan seorang gadis yang seratus persen sempurna,” kataku pada seseorang sesudah kejadian itu.
“Ya?” ujarnya, “Cantik?”
“Tidak terlalu.”
“Tipe kesukaanmu, kan?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengingat sesuatu tentang ia, bentuk mata atau ukuran payudara.”
“Aneh.”
“Ya. Aneh.”
Temanku menimpali dengan bosan, “Jadi, apa yang kamu lakukan? Mengobrol dengan ia? Membuntuti ia?”
“Tidak. Hanya berpapasan dengan ia di jalan. Ia berjalan dari timur ke barat, dan aku berjalan dari barat ke timur. Saat itu sungguh suatu pagi yang indah di bulan April.”
Seandainya saja aku bisa mengobrol dengan ia. Setengah jam sudah cukup lama untuk itu: bertanya tentang diri, bercerita padanya tentang diriku, dan… yang sesungguhnya ingin sekali kulakukan, menjelaskan pada ia kerumitan takdir yang membawa kami berpapasan di sebuah jalan di Harajuku pada suatu pagi yang indah di bulan April 1981. Ini adalah sesuatu yang penuh rahasia, seperti sebuah jam dinding antik yang dibuat ketika dunia dalam keadaan damai.
Setelah mengobrol, kami akan makan siang di suatu tempat, atau mungkin menonton film Woody Allen di bioskop, lalu nongkrong di sebuah bar hotel untuk minum cocktail. Bila aku beruntung, mungkin kami akan berakhir di atas ranjang.
Kemungkinan itu mengetuk pintu hatiku.
Kini jarak di antara kami menyempit menjadi sekitar lima belas meter.
Bagaimana aku bisa mendekati ia? Apa yang harus kukatakan?
“Selamat pagi. Apakah menurutmu kita bisa mengobrol setengah jam saja?”
Konyol. Aku terdengar seperti seorang penjual asuransi.
“Permisi. Apakah kamu tahu binatu yang buka sepanjang hari di sekitar tempat ini?”
Tidak. Itu juga konyol. Aku tidak membawa cucian. Siapa yang akan percaya kalimat semacam itu?
Mungkin kejujuran akan berhasil. “Selamat pagi. Kamu adalah gadis yang seratus persen sempurna untukku.”
Tidak, dia tak akan percaya. Atau mungkin dia percaya, tapi tak ingin berbicara denganku. Maaf, begitu katanya barangkali, aku mungkin saja gadis yang seratus persen sempurna bagimu, tapi kamu bukanlah pemuda yang seratus persen sempurna untukku.
Itu bisa saja terjadi. Dan jika aku mengalami hal semacam itu, aku mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tak akan pernah pulih dari guncangan. Usiaku kini tiga puluh dua tahun dan begitulah rasanya menjadi dewasa.
Kami berpapasan di depan sebuah toko bunga. Udara lembut menyentuh kulitku. Aspal terasa lembab dan aku menangkap aroma mawar yang meruap. Aku tak bisa memaksa diri berbicara dengan gadis itu. Dia mengenakan sweater putih dan tangan kanannya memegang selembar amplop putih yang belum ada prangkonya. Jadi, ia menulis sepucuk surat pada seseorang, mungkin sampai menghabiskan waktu semalaman untuk menulisnya, karena matanya tampak mengantuk. Amplop itu mungkin berisi segala rahasia yang ia miliki.
Aku melangkah beberapa kali dan menoleh: ia sudah lenyap dalam kerumunan.
Kini, tentu saja, aku tahu dengan tepat apa yang seharusnya kukatakan kepada ia. Mungkin terlalu panjang untuk kusampaikan dengan layak. Gagasan-gagasan yang terpikir olehku tidak pernah praktis.
Begitulah. Apa yang kukatakan itu akan diawali dengan “Pada suatu ketika” dan diakhiri dengan “Sebuah kisah yang sedih, bukan?”
Pada suatu ketika, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu berumur delapan belas tahun dan si gadis berumur enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu ganteng dan si gadis juga tidak terlalu cantik. Mereka hanyalah seorang pemuda biasa yang kesepian dan seorang gadis biasa yang kesepian, seperti halnya orang-orang yang lain. Namun, mereka percaya sepenuh hati bahwa di suatu tempat di dunia ini hiduplah seorang pemuda yang seratus persen sempurna dan seorang gadis yang seratus persen sempurna bagi mereka. Ya, mereka percaya pada keajaiban. Dan keajaiban itu sungguh-sungguh terjadi.
Suatu hari keduanya bertemu di sudut sebuah jalan.
“Ini menakjubkan,” ujar si pemuda. “Aku telah mencarimu sepanjang hidupku. Kamu mungkin tidak percaya, tapi kamu adalah gadis yang seratus persen sempurna untukku.”
“Dan kamu,” sahut si gadis, “adalah pemuda yang seratus persen sempurna untukku, tepat seperti bayanganku hingga hal-hal paling sepele. Seperti mimpi saja.”
Mereka lalu duduk di atas bangku di sebuah taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah mereka masing-masing selama berjam-jam. Mereka tak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh pasangan seratus persen sempurna mereka. Hal yang paling menakjubkan di dunia adalah menemukan dan ditemukan oleh pasangan seratus persen sempurna kita. Ini adalah sebuah keajaiban kosmis.
Saat mereka duduk dan bercakap-cakap, secercah kecil keraguan muncul di hati mereka: Tak anehkah mimpi-mimpi seseorang menjadi kenyataan dengan begitu mudah?
Dan begitulah, ketika tiba saat jeda dalam percakapn mereka, si pemuda berkata kepada si gadis, “Mari kita uji diri kita, sekali saja. Jika kita sungguh-sungguh pasangan seratus persen sempurna masing-masing, maka pada suatu waktu, pada suatu tempat, kita pasti akan bertemu lagi tanpa kesulitan. Ketika itu terjadi dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan seratus persen sempurna masing-masing, kita akan menikah. Bagaimana menurutmu?”
“Ya,” jawab si gadis, “itulah yang harus kita lakukan.”
Dan mereka pun berpisah, si gadis pergi ke timur, dan si pemuda melangkah ke barat.
Ujian yang mereka sepakati sebenarnya tidak diperlukan karena mereka sungguh-sungguh kekasih sempurna seratus persen bagi yang lain dan merupakan sebuah keajaiban mereka bisa bertemu. Namun, mustahil mereka mengetahui hal ini pada usia semuda itu. Ketika mereka tersadar, kepala mereka sekosong rekening bank DH Lawrence muda.
Mereka berdua sebetulnya adalah dua orang muda yang cerdas. Melalui upaya yang terus-menerus mereka mampu mendapatkan pengetahuan dan perasaan yang membuat mereka menjadi anggota masyarakat yang berhasil. Syukur kepada Tuhan, mereka menjadi warga negara yang sungguh-sungguh bertanggung jawab yang tahu bagaimana beralih dari satu jalur kereta api ke jalur kereta api lainnya dan paham bagaimana mengirim sepucuk surat kilat khusus di kantor pos. Mereka bahkan bisa merasakan cinta lagi, terkadang bahkan cinta tujuh puluh lima hingga delapan puluh lima persen.
Waktu berlalu begitu cepat dan dengan segera si pemuda telah berumur tiga puluh dua tahun, sedangkan si gadis tiga puluh tahun.
Pada suatu pagi di bulan April, saat mencari secangkir kopi untuk mengawali hari, si pemuda berjalan dari barat ke timur, sementara si gadis yang bermaksud mengirimkan sepucuk surat kilat khusus, berjalan dari timur ke barat.
Keduanya berjalan sepanjang jalan sempit yang sama di daerah Harajuku, Tokyo. Mereka saling berpapasan di tengah jalan. Sinar pudar sisa ingatan mereka yang telah lenyap berkilau amat singkat di hati mereka. Masing-masing merasakan gemuruh di dada mereka. Dan mereka tahu:
Gadis itu seratus persen sempurna untukku.
Pemuda itu seratus persen sempurna untukku.
Namun, kilau ingatan mereka terlalu lemah dan pikiran mereka tak lagi mengandung kejelasan seperti empat belas tahun sebelumnya. Tanpa sepatah kata, mereka berpapasan, lalu lenyap dalam kerumunan. Selamanya.
Sebuah kisah yang sedih, bukan?
Ya. Itu dia. Itulah yang seharusnya kukatakan kepada gadis itu.
Catatan:
Haruki Murakami lahir di Kyoto, 1949. Ia adalah pengarang Jepang paling terkemuka saat ini. Karya-karyanya antara lain Norwegian Wood (1987) dan Kafka on the Shore yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi buku laris di mana-mana. Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Jay Rubin, profesor sastra Jepang di Universitas Harvard, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Anton Kurnia dari judul semula On Seeing 100% Perfect Girl One Beautiful April Morning dalam kumpulan cerpen The Elephant Vanishes; Vintage, London: 2003.

Biografi Ryūnosuke Akutagawa

200px-Akutagawa_Ryunosuke_photo

 

Ryūnosuke Akutagawa adalah seorang penulis Jepang yang aktif pada periode sho. Dia dikenal sebagai bapak Cerita Pendek Jepang. dan perhatiannya adalah kisah-kisah yang mengeksplorasi sisi gelap manusia.

Akutagawa lahir di distrik Kyobashi di Tokyo, anak dari seorang tukang susu (Toshizô Shinbara). Ibunya (Fuku Shinbara) mengalami gangguan kejiwaan tak lama setelah melahirkan Akutagawa. Karena ayahnya tidak bisa untuk merawat Akutagawa, akhirnya ia dititipkan kepada pamannya, Akutagawa Dosho, dari pamannya inilah ia mendapatkan nama keluarga Akutagawa. Dia sangat tertarik dengan sastra klasik China pada masa-masa awal. Mori Ogai dan Natsume Soseki telah menjadi penulis yanng berpengaruh semasa masa pertumbuhan Akutagawa.

Akutagawa memasuki sekolah pertamanya pada 1910, dan membangun pertemanan dengan Kikuchi Kan, Kume Masao, Yamamoto Yûzô, and Tsuchiya Bunmei, semuanya kelak menjadi penulis terkenal. Dia mulai menulis setelah memasuki Tokyo Imperial University pada 1913, di mana dia mempelajari kesusastraan Inggris.

Ia menikah dengan Fumi Tsukamoto pada tahun 1918, dan memilki tiga anak: Hiroshi Akutagawa (1920-1981), aktor terkenal, Takashi Akutagawa (1922-1945), terbunuh pada Perang Dunia II, dan Yasushi Akutagawa (1925-1989), seorang kompposer.

Akutagawa mulai menulis fiksi semasa di universitas. Karya sastra pertamanya (1914) adalah terjemahan dari karya Anatole France, Balthasar (1889). Bersama dengan dengan teman-temannya, Kikuchi Kan DAN Kumé Masao, dia mendirikan majalah sastra Shin Shicho, di mana dia mempublikasikan ”Rashomon” (atau ”The Rasho Gate”, 1915). Novelis Natsume Soseki, sangat tertarik dengan hasil karya Natsume Soseki dan mendorongnya dalam menulis.

Setelah lulus, Akutagawa mengajar di sekolah pelayaran di Yokosuka dan menikahi Tsukamoto Fumiko. Akutagawa sebenarnya ingin memusatkan diri pada sastra sepenuhnya dan menolak ajakan untuk mengajar di universitas Tokyo dan Kyoto. Akhirnya dia mengundurkan diri dan menjadi kontributor tetap koran Osaka Mainichi. Pada masa-masa aktifnya pada 1921 Akutagawa berkunjung ke China sebagai koresponden, namun, karena alasan kesehatan, dia tidak dapat menulis artikel apapun di sana. Ia mendapat bimbingan dari Natsume Soseki setelah Soseki mengetahui bakat Akutagawa dalam penulisan.

Akutagawa menulis hampir semua karya utamanya pada sepuluh tahun sebelum ia bunuh diri. Akutagawa adalah murid Soseki yang berbakat, yang memulai karirnya di majalah Shinshichoo. Soseki memberikan pujian kepada Akutagawa dengan karyanya Hana, sebuah novel satire yang mengambil bahan dari cerita klasik. Untuk menciptakan suatu novel, Akutagawa mengutamakan pengambilan bahan dari cerita yang berlatar belakang sejarah atau cerita klasik, kemudian diolah dengan baik sehingga akhirnya lahirlah sebuah novel baru dengan penafsiran yang baru pula. Di antara novel seperti itu adalah Rashomon, Gesaku Zanmai, Karenoshoo dan Yabu no Naka. Dia mempunyai keahlian untuk mengubah realitas, sehingga dia dijuluki grup cendekiawan atau neo realisme.

Akutagawa sangat familiar dengan Kesusastraan Eropa dan China. Dia pelanggan tetap Maruzen, publikasi berbahasa asing di Tokyo, dan tertarik dengan penulis barat seperti Strindberg, Mérimée, Nietzsche, Dostoevsky, Baudelaire, dan Tolstoy. Meski Akutagawa belum pernah berkunjung ke Barat, namun pengetahuannya akan kesusastraan Barat sangat luas.

Karya terakhir Akutagawa yang tidak bisa dianggap remeh adalah Kappa (1927) berkisah tentang seseorang yang tersesat ke negeri Kappa, sosok dalam mitos dan folklor masyarakat Jepang. Kappa adalah karya Satir yang dalam beberapa sisi memperlihatkan sisi kejiwaan Akutagawa yang tidak stabil dan mengalami gangguan. Diakhir hidupnya dia tidak bisa mengikuti dan menyesuaikan diri dengan dunia sekelilingnya. Pada masa-masa ini dia sering mengalami halusinasi dan mencoba untuk bunuh diri. Dia menulis Kappa, Haguruma dan lain-lain dalam keraguan terhadap dirinya dan dalam penderitaan jiwa. Hatinya yang tersiksa oleh tekanan jiwa dilampiaskan ke dalam karya-karyanya. Akhirnya, pada 24 Juli 1927, Akutagawa mengakhiri hidupnya sendiri. Kappa adalah cerita satir yang merupakan kekecewaan Akutagawa terhadap masyarakat Jepang pada masa itu. Untuk menghormati pencapaian dan prestasi Akutagawa dalam kesusastraan Jepang, namanya diabadikan menjadi sebuah penghargaan bergengsi untuk kesusastraan Jepang, Akutagawa Prize.

Akutagawa menulis sekitar 150 cerita, beberapa sudah pernah difilmkan. ‘Rashomon’ adalah salah satu karyanya yang sangat terkenal. Akira Kurosawa memfilmkan Rashomon dari karya Akutagawa. Keduanya, baik buku dan filmnya mendapat pengakuan luas di dunia.

Karya-karya terpilih Ryunosuke Akutagawa adalah ‘Rashomon’, 1915, ‘Hana’, 1916 – The Nose, ‘Imogayu’, 1916, ‘Ogata Kanzai no oboegaki’, 1917 – Ogata Ryosai’s Memo, ‘Aru hi no Oishi Kuranosuke’, 1917 – A Day in the Life of Oishi Kuranosuke, ‘Karenosho’, 1918 – From Withered Fields, ‘Kumo no ito’, 1918 – The Spider’s Thread, ‘Jigoku hen’, 1918 – The Hell Screen, ‘Hokyonin no shi’, 1918 – Death of a Christian, ‘Kirinutsohoro shonin-den’, 1919 – The Story of St. Christopher, ‘Aki’, 1920 – Autumn, ‘Butokai’, 1920 – The Ball, ‘Koshoku’, 1921 – Lechery, ‘Yabu no naka’, 1922 – In a Grove, ‘Hina’, 1923, ‘Shuju no kotoba’, 1923-25 – Words of a Dwarf, ‘Daidoji Shinsuke no hansei’, 1925 – The Early Life of Daidoji Shinsuke, Ume, uma, uguisu, 1926, ‘Genkaku sanbo’, 1927 – The House of Genkaku, Kappa, 1927 – Kappa: A Novel, ‘Haguruma’, 1927 – Cogwheels, Bungeiteki na, amari bungeiteki na, 1927, ‘Aru ahö no issho’, 1927 – The Life of a Fool, ‘Seiho no hito’, 1927 – Man of the West, Tales of Grotesque and Curious, Akutagawa Ryunosuke Zenshu, 1934-35 (10 seri), The Three Treasures and Other Stories for Children, 1944 (trans. by Sasaki Takamasa), Rashomon and Other Stories, 1952, Japanese Short Stories, 1961, Tu Tze-chun, 1964, A Fools Life, 1970. ( dari berbagai sumber)

SUMO

Latar Belakang

Sumo (相撲 sumō) adalah olahraga saling dorong antara dua orang pesumo yang berbadan gemuk sampai salah seorang didorong keluar dari lingkaran atau terjatuh dengan bagian badan selain telapak kaki menyentuh tanah di bagian dalam lingkaran. Pesumo (rikishi) perlu berbadan besar dan gemuk karena semakin tambun seorang pegulat sumo semakin besar pula kemungkinannya untuk menang.
Sumo merupakan salah satu olahraga tradisional Jepang yang telah berusia lebih dari 2000 tahun. Pada awalnya, Sumo adalah ritual untuk menghormati dewa yang telah memberkati pertanian yang ditampilkan bersama tari-tarian di halaman kuil. Kemudian Kaisar mengubah sumo menjadi salah satu hiburan istana yang hanya dapat ditonton oleh para para bangsawan dan pejabat penting. Barulah pada awal zaman Edo (tahun 1600-an) teknik dan aturan sumo mulai dirumuskan dan dikembangkan sehingga pertandingan sumo lebih mirip dengan yang ada sekarang.

Asal-usul sumo
Sama halnya seperti berbagai jenis olahraga gulat yang ada di seluruh dunia, sumo sudah dikenal di Jepang sejak zaman prasejarah. Pada literatur klasik Jepang abad ke-8 Masehi, bentuk awal sumo dikenal dengan sebutan Sumai. Sumo dalam bentuk yang dikenal sekarang ini mungkin berbeda dengan “sumo” di zaman dulu. Pegulat sering bertarung sampai mati karena jumlah peraturan yang ada masih sedikit.
Penguasa Jepang di abad ke-16 yang bernama Oda Nobunaga sering menyelenggarakan turnamen sumo. Bentuk ring sumo seperti yang dikenal sekarang ini berasal dari zaman Oda Nobunaga. Dibandingkan dengan mawashi pada zaman sekarang yang dibuat dari kain bagus yang kaku, pegulat sumo di masa Oda Nobunaga masih memakai penutup tubuh bagian bawah dari kain kasar yang longgar. Di zaman Edo, pegulat sumo bertanding dengan mengenakan mawashi bermotif indah dan gagah yang disebut kesho mawashi. Di zaman sekarang kesho mawashi hanya dikenakan pegulat sumo pada saat berparade di atas dohyō di awal pembukaan turnamen.
Sumo sering dikaitkan dengan ritual dalam agama Shinto. Sampai sekarang ini, di beberapa kuil Shinto masih diselenggarakan pertarungan antara pegulat sumo dengan Kami

Ring sumo (dohyō)

Dohyō pada turnamen sumo di Osaka
Pertandingan sumo berlangsung di atas ring bernama dohyō (土俵) yang dibuat dari campuran tanah liat yang dikeraskan dengan pasir yang disebarkan di atasnya. Dohyō dibongkar setelah pertandingan selesai dan dohyō yang baru harus selalu dibangun untuk setiap turnamen. Pembangunan dohyō untuk keperluan turnamen atau latihan menjadi tanggung jawab penyelenggara (yobidashi).
panjang sisi-sisi dohyo 570 cm, tingginya 66 cm dan diameter lingkaran pertandingannya 455 cm yang dibuat di atas tanah. Arena pertandingan sumo ini memiliki atap menyerupai atap kuil agama Shinto yang disebut tsuriyane yang beratnya mencapai 6 ton. Di keempat sudut atap tsuriyane ini tergantung jumbai-jumbai raksasa yang melambangkan empat musim di Jepang, yaitu jumbai berwarna hijau di sisi timur melambangkan haru (musim semi), jumbai berwarna putih di sisi barat melambangkan aki (musim gugur), jumbai berwarna merah di sisi selatan melambangkan natsu (musim panas) dan jumbai berwarna hitam di sisi utara melambangkan fuyu (musim dingin).

Lingkaran tempat pertandingan berlangsung mempunyai diameter 4,55 meter dan dikelilingi oleh karung beras yang disebut tawara (俵). Ukuran karung beras sekitar 1/3 ukuran karung beras standar yang sebagian dipendam di dalam tanah liat yang membentuk gundukan dohyō. Sedikit di luar lingkaran diletakkan empat buah tawara yang di zaman dulu dimaksudkan untuk menyerap air hujan sewaktu turnamen sumo masih diselenggarakan di tempat terbuka.
Di tengah-tengah lingkaran terdapat dua garis putih yang disebut shikiri-sen (仕切り線). Kedua pegulat (rikishi) yang bertarung harus berada di belakang garis shikiri-sen sebelum pertandingan dimulai.
Bagian luar sekeliling lingkaran disebut janome yang dilapisi pasir halus untuk membentuk permukaan yang mulus. Pegulat yang terdorong ke luar lingkaran atau terjatuh pasti menimbulkan tanda pada permukaan janome akibat terkena injakan kaki atau anggota tubuh yang lain. Yobidashi harus memastikan permukaan janome berada dalam keadaan mulus sebelum pertandingan yang lain dimulai.

Pertandingan
Rikishi bertanding hampir-hampir telanjang karena hanya memakai mawashi yang terbuat dari sutra dengan panjang 10 yard dan lebar 2 kaki yang melilit pingggang rikishi 4 sampai 7 putaran. Mawashi ini salah satu bagian terpenting dalam sumo. Rikishi bisa melakukan berbagai macam trik untuk dapat memegang mawashi lawan agar bisa menjatuhkan lawan.

Sebelum pertandingan dimulai, ada beberapa ritual dan kode etik yang dilakukan para rekishi, salah satunya adalah ritual memasuki arena pertandingan yang dikenal dengan istilah dohyo iri. Ritual ini menjadi keunikan tersendiri dalam sumo. Para rikishi dipanggil ke arena pertandingan dari peringkat terendah sampai peringkat yang lebih tinggi dengan memakai kesho mawashi (apron upacara) yang terbuat dari sutra yang sangat indah dengan bebagai macam motif sulaman dari benang emas yang harganya kira-kira 400 ribu-500 ribu yen, bahkan ada yang harganya 5 juta yen.
Ritual dohyo iri yang dinanti-nanti tentunya adalah ritual naiknya yokozuna ke atas dohyo. Sebelum yokozuna naik ke atas dohyo, tategyoji naik ke atas dohyo terlebih dahulu. Setelah semua tategyoji berada di atas dohyo, naik seorang rikishi yang akan memimpin ritual dohyo iri.Rikishi ini disebut tsuzuharai yang akan menyampaikan beberapa pengumuman. Kemudian, yokozuna naik ke atas dohyo iri diikuti oleh seorang rikishi lagi yang membawa katana (pedang) yang dihiasi dengan sangat indah sebagai lambang kekuatan yokozuna. Rikishi yang membawa pedang ini disebut tachimochi. Tsuyuharai dan tachimochi ini harus berasal dari tingkatan makunouchi dan heya yang sama dengan yokozuna. Yokozuna, tsuyuharai dan tachimochi sama-sama memakai kesho mawashi yang mewah. Di pinggang yokozuna juga dililitkan tambang yang digantungi kertas putih yang dilipat-lipat berbentuk zigzag yang beratnya mencapai 14 kg seperti yang terdapat di pintu depan kuil. Istilah yokozuna ini sendiri berasal dari gabungan kata yoko (samping) dan tsuna (tambang).
Di atas dohyo, yokozuna yang didampingi oleh tsuyuharai dan tachimochi di kiri- kanannya berjongkok di sebelah barat menghadap ke timur. Lalu, merentangkan tangannya dan bertepuk dengan sangat keras. Kemudian, mereka menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan mengulangi lagi gerakan merentangkan tangan, bertepuk menggosok-gosokkan tangan sekali lagi. Gerakan ini melambangkan penyucian tangan dan tubuh serta mengungkapkan bahwa para rikishi datang tanpa membawa senjata.
Pertandingan itu sendiri berlangsung sangat cepat sekitar 4 menit saja. Waktu yang 4 menit itu pun banyak dihabiskan untuk berbagai ritual seperti menghentakkan kaki ke dohyo, berjongkok, mengambil ancang-ancang akan menerkam lawan, tapi tidak jadi karena salah satu rikishi tiba-tiba berdiri dari posisi jongkok dan berjalan ke sudut untuk mengambil garam atau melap keringat. Lalu, pertandingan dimulai lagi dari gerakan menghentakkan kaki sampai salah seorang berhasil membuat lawannya menyentuh tanah dengan bagian tubuh, seperti lutut atau ujung jari atau membuat lawannya keluar dari arena lingkaran pertandingan meski seujung jari kaki atau tumitnya. Selama pertandingann rikishi dilarang memukul dengan tinju, menarik rambut, menusuk mata, memukul perut dan merangkul/ memeluk musuh. Karena tidak ada batasan berat badan, ada kemungkinan seorang rekishi bertemu lawan yang berat badannya dua kali berat dirinya. Rikishi yang kalah disebut ‘shinitai’.
Gyoji
Gyoji (wasit) memasuki arena pertandingan memakai kimono dengan model kimono samurai zaman Kamakura dilengkapi topi biksu Shinto yang berwarna hitam. Sama seperti rikishi, gyoji juga mempunyai tingkatan dan hanya tategyoji yaitu gyoji tinkatan tinggi saja yang boleh memimpin pertandingan tingkatan makunouchi dan juryo. Tingkatan gyoji dilihat dari warna kipas dan jumbainya.

Penentuan pemenang
Pemenang pertandingan ditentukan berdasarkan dua peraturan sederhana:
1. Pegulat yang lebih dulu menyentuh tanah dengan bagian badan selain telapak kaki adalah pegulat yang kalah.
2. Pegulat yang lebih dulu menginjak tanah di luar lingkaran adalah pegulat yang kalah.
Pada kesempatan yang jarang terjadi, pegulat yang kebetulan menyentuh tanah lebih dulu ada kemungkinkan dimenangkan oleh wasit dengan syarat kedua pegulat menyentuh tanah pada sekitar saat yang bersamaan dan pegulat yang baru menyentuh tanah kemudian dianggap tidak ada harapan untuk memenangkan pertandingan dari pegulat lawan yang lebih kuat. Pegulat yang kalah dalam kesempatan ini disebut shinitai (orang mati).
Selain itu, ada beberapa peraturan lagi yang bisa dipakai untuk menentukan pemenang. Pegulat yang menggunakan teknik yang tidak sah (kinjite) secara otomatis dinyatakan kalah. Pegulat dengan mawashi (sabuk yang juga berfungsi sebagai celana) yang lepas sewaktu bertanding juga dinyatakan kalah. Pegulat yang tidak muncul sewaktu tiba gilirannya untuk bertanding juga dinyatakan kalah secara fusenpai. Setelah salah seorang pegulat dinyatakan sebagai pemenang, juri (gyoji) yang berada di luar ring mengumumkan kimarite (teknik yang digunakan oleh pegulat yang menang).
Pertandingan sumo selalu didahului oleh ritual yang panjang, walaupun pertandingannya sendiri sering hanya berlangsung beberapa detik. Pegulat yang kalah kuat bisa cepat sekali terdorong keluar dari lingkaran atau terjatuh, sedangkan pertandingan yang seimbang bisa berlangsung sampai beberapa menit. Pegulat sumo yang mempunyai lingkar perut besar dan tubuh yang gemuk mempunyai kemungkinan besar untuk menang, walaupun kadang-kadang pegulat yang lebih kecil tapi memiliki teknik luar biasa bisa mengalahkan pegulat yang lebih gemuk.

Peringkat
Rikishi profesional berjumlah 700 orang yang peringkatnya disusun menyerupai piramid. Rikishi yang peringkatnya paling rendah ada di dasar piramid sedangkan rikishi yang yang peringkatnya paling tinggi ada di puncak piramid. Pada dasarnya ada 6 peringkat dalam sumo, yaitu :
1. makunouchi (42 rikishi)  tertinggi
2. juryo (28 rikishi)
3. makushita (120 rikishi)
4. sandanme (200 rikishi)
5. jonidan (230 rikishi)
6. jonokuchi (80 rikishi)  terendah.
Makunouchi terbagi lagi atas 5 tingkatan dari yang terendah :
1. maegashira
2. komusubi
3. sekiwake
4. ozeki
5. yokozuna
Rikishi pada tingkatan makunouchi dan juryo diberi gelar kehormatan yang disebut sekitori dan menerima gaji. Yokozuna (juara agung) adalah rikishi dalam tingkatan ozeki yang memenangkan Grand Tournaments 2 kali berturut-turut. Dalam setiap pertandingan, penampilannya haruslah konsisten sehingga dianggap pantas untuk dipromosikan menjadi yokozuna menurut kritikus sumo yang tergabung dalam sumo kyokai (The Japan Sumo Association). Posisi yokozuna ini unik karena setelah 300 tahun hanya 68 rikishi saja yang mendapatkan gelar ini. Gelar yokozuna tidak bisa dicabut meskipun pada saat turnamen pemegang gelar yokozuna ini tampil buruk. Kalau penampilan tetap buruk selama beberapa turnamen dia hanya dianggap ingin mengundurkan diri.
Pegulat sumo yang baru direkrut terdaftar dalam peringkat paling bawah (Jonokuchi) dan dapat naik peringkat secara perlahan-lahan ke peringkat Makuuchi bila berprestasi.
Pegulat sumo profesional

Pegulat sumo berparade di atas dohyō mengelilingi gyoji (wasit) dalam upacara sebelum pertandingan
Pertunjukan hiburan yang menampilkan pertandingan pegulat sumo profesional (大相撲 Ōzumō) sudah dimulai sejak zaman Edo. Pegulat sumo pada masa itu konon berasal dari samurai atau ronin yang membutuhkan sumber penghasilan alternatif.
Di zaman sekarang, pegulat sumo profesional diatur oleh Asosiasi Sumo Jepang (Nihon Sumō Kyōkai). Anggota asosiasi terdiri dari Oyakata yang semuanya merupakan mantan pegulat sumo. Oyakata adalah pimpinan pusat latihan (heya) tempat bernaung para pegulat sumo profesional. Peraturan asosiasi menetapkan bahwa perekrutan calon dan pelatihan pegulat sumo hanya berhak dilakukan oleh Oyakata. Di Jepang saat ini terdapat sekitar 54 pusat latihan sumo (heya) tempat bernaung sekitar 700 pegulat sumo.
Sumo mempunyai sistem peringkat yang sangat terinci berdasarkan prestasi dalam pertandingan. Sistem peringkat dalam sumo sudah digunakan beratus-ratus tahun sejak zaman Edo. Peringkat pegulat bisa naik atau bisa turun bergantung pada hasil pertandingan yang diikuti. Banzuke adalah nama untuk peringkat pegulat sumo yang diterbitkan 2 minggu sebelum turnamen sumo dibuka.

Banzuke (daftar peringkat pegulat sumo)
Pegulat yang digolongkan dalam dua peringkat paling atas (Makuchi dan Juryo) disebut sekitori dan hanya pegulat peringkat sekitori yang berhak mendapat gaji. Pegulat peringkat bawah dianggap sebagai pegulat magang dan hanya menerima uang saku sekadarnya sebagai imbalan melakukan berbagai macam pekerjaan di pusat latihan. Pegulat sumo baru yang diambil dari juara turnamen antar universitas ada kalanya mendapat perlakuan istimewa dan dimasukkan ke dalam peringkat Makushita dan bukan peringkat Jonokuchi.
Peringkat Makuuchi yang merupakan peringkat teratas dibagi-bagi lagi menjadi berbagai golongan pegulat. Mayoritas pegulat berada dalam golongan Maegashira dan diberi peringkat berdasarkan nomor urut 1 sampai 16 atau 17. Setiap peringkat dibagi menjadi dua kubu: kubu Timur dan kubu Barat. Kubu Timur dianggap lebih prestisius dari kubu Barat, sehingga kedudukan pegulat berperingkat Maegashira-2-Timur berada di atas pegulat berperingkat Maegashira-2-Barat. Di atas kelas Maegashira terdapat kelompok para juara atau pemegang gelar yang disebut golongan sanyaku yang secara berturut-turut disebut komusubi, sekiwake, ozeki, hingga peringkat paling atas yang disebut yokozuna.
Yokozuna atau juara umum adalah pegulat sumo yang tampil secara reguler di dalam turnamen dan memenangkan juara divisi teratas di akhir turnamen. Kriteria agar pegulat bisa naik peringkat juga sangat ketat. Seorang ozeki harus menjadi juara dua turnamen secara berturut-turut (atau yang setara) agar bisa dinaikkan peringkatnya menjadi yokozuna. Keputusan akhir dalam menaikkan peringkat pegulat sumo berada di tangan asosiasi. Seorang ozeki juga bisa dinaikkan peringkatnya secara istimewa dengan persyaratan menang sebanyak 33 kali melawan sekiwake atau komusubi dalam 3 turnamen terakhir.
Musashimaru dan pasangan Takanohana – Wakanohana III yang merupakan satu-satunya pasangan kakak beradik yang pernah mencapai posisi puncak sebagai yokozuna. Chiyonofuji adalah yokozuna yang mengundurkan diri di awal tahun 1990-an setelah memenangkan 31 turnamen. Kemenangan Chiyonofuji dalam 31 turnamen merupakan prestasi luar biasa karena setara dengan jumlah kemenangan dua orang yokozuna (Akebono dan Takanohana) yang dijadikan satu. Pegulat yang sudah menjadi yokozuna tidak bisa lagi diturunkan peringkatnya dan hanya diharapkan untuk mundur kalau prestasinya tidak bisa lagi memenuhi standar seorang yokozuna.
Pegulat sumo menggunakan nama alias yang disebut shikona (しこ名) yang mungkin ada hubungannya atau tidak berhubungan sama sekali dengan nama asli pegulat. Pegulat sumo biasanya tidak mempunyai pilihan banyak dalam memilih shikona karena nama biasanya sudah dipersiapkan sebelumnya oleh pelatih, oyakata, atau perusahaan yang menjadi sponsor. Di dalam perjalanan karirnya, pegulat sumo bisa saja beberapa kali berganti shikona.
Turnamen sumo profesional hanya diselenggarakan di Jepang walaupun pegulat sumo profesional sebagian besar berasal dari luar negeri. Takamiyama, Konishiki dan Akebono adalah nama tiga orang pegulat sumo profesional kelahiran Hawaii yang sukses di Jepang. Takamiyama adalah orang asing pertama yang berhasil menjadi juara divisi paling atas di awal tahun 1970-an. Jejak Takamiyama diikuti oleh Konishiki yang berhasil memenangkan divisi paling atas dalam 3 kali turnamen. Konishiki merupakan orang asing pertama yang berhasil mencapai peringkat Ozeki. Pada tahun 1993, Akebono adalah orang asing pertama dalam sejarah sumo yang berhasil menjadi Yokuzuna.

Asashoryu, seorang pesumo yokozuna
Orang asing kedua yang berhasil menjadi yokozuna di akhir tahun 1990-an adalah orang Samoa kelahiran Hawaii bernama Musashimaru. Pada saat ini, gelar yokozuna dipegang Asashoryu yang kelahiran Mongolia. Asashoryu merupakan pimpinan kelompok kecil pegulat sumo asal Mongolia yang berhasil masuk peringkat sekitori. Pegulat asing dari negara-negara Eropa Timur juga banyak yang sukses sebagai pegulat sumo peringkat atas. Pada tahun 2005, Kotooshu dari Bulgaria berhasil menjadi pegulat sumo pertama dari Eropa Timur yang berhasil menjadi ozeki.
Pegulat sumo peringkat atas mengadakan pertandingan eksebisi di luar negeri setiap dua tahun sekali. Pada bulan Oktober 2005 dilakukan pertandingan eksebisi di Las Vegas. Pertandingan eksebisi umumnya dimaksudkan sebagai pertunjukan dan promosi olahraga sumo.
Pegulat sumo profesional harus berjenis kelamin laki-laki berdasarkan tradisi turun temurun sejak berabad-abad yang lalu. Peraturan asosiasi sumo yang sering menjadi kontroversi adalah peraturan yang tidak mengizinkan wanita naik ke atas dohyō karena dikuatirkan bisa mengotori dohyō yang dianggap suci. Berdasarkan peraturan ini, Fusae Ota sewaktu menjadi Gubernur Prefektur Osaka tidak dibolehkan naik ke atas dohyō karena ia seorang wanita. Hadiah dari Gubernur Osaka untuk pemenang turnamen sumo di Osaka diserahkan oleh pria yang diutus dari kantor gubernur

Turnamen sumo profesional

Arena sumo Ryogoku di Tokyo sewaktu turnamen bulan Mei 2001
Peringkat pegulat sumo profesional ditentukan oleh enam turnamen Grand Sumo (honbasho) yang diselenggarakan 6 kali dalam setahun. Turnamen bulan Januari, Mei dan September dilakukan di Arena Sumo (Kokugikan) di Ryogoku Tokyo, turnamen bulan Maret di Osaka, sedangkan turnamen bulan Juli di Nagoya dan turnamen bulan November di Fukuoka.
Setiap turnamen selalu dimulai pada hari Minggu yang berlangsung selama 15 hari dan ditutup juga pada hari Minggu. Pengecualian jadwal turnamen pernah terjadi ketika Kaisar Hirohito wafat pada hari Sabtu, 7 Januari 1989, satu hari sebelum dimulainya turnamen bulan Januari. Turnamen kemudian dijadwal ulang, dimulai dan berakhir pada hari Senin.
Pegulat yang menempati peringkat sekitori harus bertanding satu kali dalam satu hari, sedangkan pegulat berperingkat lebih rendah bertanding sebanyak 7 kali (1 pertandingan setiap 2 hari).
Pada hari-hari pelaksanaan turnamen, jadwal acara dibuat sedemikian rupa sehingga pertandingan antara pegulat sumo peringkat atas selalu merupakan puncak acara sekaligus pertandingan penutup pada hari itu. Pertandingan dimulai di pagi hari bagi pegulat sumo peringkat paling bawah (Jonokuchi) dan diakhiri sekitar jam 18:00 sore dengan pertarungan antara Yokozuna atau Ozeki (jika Yokozune tidak hadir). Pegulat yang memenangkan pertandingan paling banyak selama 15 hari menjadi juara turnamen. Pertandingan tambahan diadakan antar dua orang pegulat yang mempunyai jumlah kemenangan yang berimbang dan pemenang pertandingan menjadi juara turnamen.
Pegulat sumo (rikishi) berperingkat Makuuchi tiba di gelanggang sumo pada siang hari dan memasuki ruang ganti. Ruang ganti dibagi menjadi ruang ganti kubu Timur dan ruang ganti kubu Barat. Ruang ganti dibuat terpisah agar pegulat tidak saling bertemu muka sebelum pertandingan. Pegulat lalu membuka baju dan menggantinya dengan semacam celemek dari kain sutra yang disebut kesho mawashi dengan hiasan bordiran indah. Pegulat harus mengenakan kesho mawashi sewaktu mengikuti upacara memasuki ring yang disebut dohyōiri. Prosesi yang diikuti para pegulat berlangsung dari ruang ganti masing-masing kubu menuju ke ring. Pada hari-hari penyelenggaraan turnamen, upacara dohyōiri dilakukan sebanyak 4 kali, 2 kali untuk pegulat kelas Juryo dan 2 kali untuk pegulat kelas Makuuchi. Pada upacara dohyōiri, nama-nama pegulat diumumkan satu-persatu ke hadapan penonton, dimulai dari pegulat berperingkat paling rendah hingga pegulat berperingkat paling tinggi. Setelah pegulat dengan peringkat tertinggi diumumkan, para pegulat membentuk lingkaran mengelilingi wasit untuk mengikuti ritual dan berakhir dengan kembalinya para pegulat ke ruang ganti masing-masing. Yokozuna mempunyai ritual dohyōiri tersendiri yang diadakan secara terpisah dari pegulat kelas yang lebih rendah.

Bendera berwarna-warni pada turnamen sumo
Pegulat yang sudah sampai di ruang ganti menanggalkan kesho mawashi untuk menggantinya dengan mawashi sambil menunggu saat bertanding. Pegulat memasuki arena sebelum waktu pertandingan yang dijadwalkan dan harus duduk di pinggir ring menanti giliran bertanding sejak dua pertandingan sebelumnya masih berlangsung. Pada saat giliran bertanding tiba, yobidashi memanggil nama kedua pegulat yang akan bertarung. Pertandingan dipimpin oleh wasit yang disebut gyoji. Pada saat berada di atas dohyō, pegulat mempertontonkan serangkaian gerakan ritual berupa hentakan kaki dan tepukan tangan yang dilakukan sambil menghadap ke penonton. Pegulat juga harus mencuci mulut dengan air yang disebut chikara mizu (air kuat). Sejumlah garam kemudian dilemparkan kedua pegulat ke dalam dohyō sebagai simbol penolak bala dan agar tidak terjadi cedera sewaktu bertanding. Setelah itu, kedua pegulat melakukan ritual singkat berupa saling berhadapan dan mengambil posisi seperti setengah mau berjongkok (posisi tachiai) untuk “mengukur” kekuatan lawan. Pada kesempatan pertama “mengukur” kekuatan lawan, kedua pegulat tidak perlu mengambil posisi tachiai tapi bisa dengan saling melototkan mata sebelum kembali ke sudut masing-masing. Ritual mengukur kekuatan lawan bisa berlangsung berkali-kali (sekitar 4 kali atau lebih pada pegulat kelas atas). Wasit (gyoji) lalu menyatakan ritual saling mengukur kekuatan lawan harus diakhiri dan pertarungan harus segera dimulai. Waktu yang dibutuhkan masing-masing pegulat untuk melakukan ritual “menakut-nakuti lawan” sambil mempersiapkan diri sendiri secara mental adalah sekitar 4 menit, tapi pegulat peringkat rendah biasanya langsung diminta untuk segera bertanding.
Pada kesempatan mengukur kekuatan lawan (tachiai), kedua pegulat harus maju secara bersamaan. Wasit (gyoji) bisa meminta kedua pengulat untuk mengulangi tachiai jika prosedur belum dianggap benar. Pada saat pertandingan berakhir, wasit mengacungkan gunbai (kipas perang) ke arah pegulat yang menang. Kedua pegulat harus kembali pada posisi awal untuk saling membungkuk sebelum pertandingan dinyatakan selesai. Jika pertandingan diselenggarakan atas bantuan sponsor, pegulat yang menang biasanya menerima hadiah uang dalam amplop yang diserahkan oleh wasit. Wasit mempunyai kewajiban untuk segera mengumumkan sang pemenang walaupun pertandingan mungkin berakhir seri. Pertandingan sumo hampir tidak pernah berakhir dengan hasil seri. Pada semua pertandingan sumo diperlukan 5 orang juri (shimpan) yang berada di sekeliling ring. Juri dapat saja mempertanyakan keputusan wasit. Jika juri meragukan keputusan yang diambil wasit, juri dan wasit bertemu di tengah ring untuk mengadakan perundingan yang disebut mono ii (secara harafiah berarti “omong-omong”) untuk menentukan pegulat yang menang. Hasil perundingan dapat berupa penangguhan atau pembatalan keputusan wasit dan bahkan perintah untuk melakukan pertandingan ulang yang disebut torinaoshi.
Berbeda dengan ritual yang dilakukan kedua pegulat untuk “mengukur” kekuatan lawan yang memakan waktu lama, pertarungan antara kedua pegulat berlangsung sangat singkat dan biasanya tidak lebih dari satu menit atau bahkan hanya berlangsung beberapa detik. Jarang sekali ada pertarungan yang bisa berlangsung bermenit-menit karena wasit biasanya akan memisahkan kedua pegulat untuk beristirahat minum yang disebut mizuiri. Kedua pegulat setelah beristirahat sejenak akan kembali ke posisi terakhir sebelum wasit datang memisahkan. Wasit berkewajiban untuk membetulkan posisi akhir kedua pegulat jika posisi masih dianggap belum benar. Jika pertandingan masih belum bisa menentukan pihak yang menang sedangkan pertarungan sudah berlangsung bermenit-menit, wasit akan memisahkan lagi kedua pegulat untuk istirahat minum tahap kedua. Setelah istirahat sejenak, kedua pegulat akan memulai lagi pertarungan dari awal.
Hari terakhir turnamen disebut senshuraku (secara harafiah berarti “kegembiraan 1.000 musim gugur”) sebagai bentuk suka cita atas keberhasilan pemenang dalam turnamen. Nama yang gemerlap untuk hari puncak turnamen berasal dari kata yang digunakan penulis drama Zeami Motokiyo. Pegulat yang memenangkan kejuaraan divisi atas (makuuchi) mendapat hadiah Piala Kaisar. Selain itu, juara juga menerima berbagai hadiah dari para sponsor. Hadiah yang diberikan umumnya berupa barang-barang seni dan makanan dalam jumlah banyak, misalnya piala ukuran besar, piring berhias, berkarung-karung beras, daging sapi yang mahal, ikan yang berukuran sangat besar, atau jamur shiitake dalam jumlah banyak.
Dalam jangka waktu 15 hari, peringkat pegulat sumo bisa naik atau bisa turun yang ditentukan menurut hasil turnamen. Pegulat yang memiliki kachikoshi berarti pegulat lebih banyak menang daripada kalah, sedangkan makekoshi berarti pegulat lebih banyak kalah daripada menang. Pada divisi Makuuchi, kachikoshi berarti skor 8 kali menang (bisa juga lebih) dan 7 kali kalah, sedangkan makekoshi berarti skor 7 kali kalah (bisa juga lebih) dan 8 kali menang. Pegulat yang berhasil memperoleh kachikoshi dinaikkan peringkatnya jauh ke atas kalau memiliki skor kachikoshi yang bagus, sebaliknya pegulat dengan makekoshi sudah pasti turun peringkat. Pegulat dikatakan berada dalam peringkat sanyaku kalau skor kachikoshi yang dimilikinya masih belum cukup untuk naik tingkat. Pegulat yang berada di divisi atas harus berhasil menang 9, 10 atau 11 kali dari 15 kali pertandingan agar peringkatnya bisa naik, sedangkan kenaikan peringkat Ozeki and Yokozuna memiliki peraturan sendiri.
Pegulat divisi atas yang belum menyandang gelar Ozeki atau Yokozuna tapi berhasil menyelesaikan turnamen dengan kachikoshi juga dianggap berhak mendapat tiga penghargaan (sanshō) yang terdiri dari penghargaan untuk keterampilan teknik (ginōshō), penghargaan untuk semangat bertarung (kantōshō) dan penghargaan (shukunshō) atas prestasi mengalahkan Yokozuna dan Ōzeki.

Kehidupan pegulat sumo profesional
Sepanjang perjalanan karirnya, pegulat sumo profesional terikat dengan serangkaian peraturan yang rumit. Asosiasi sumo mengatur segala segi kehidupan pribadi para pegulat terutama yang berkaitan dengan kehidupan pegulat di dalam suatu komunitas.
Penampilan pegulat sumo dengan gaya rambut klimis dan baju tradisional Jepang membuat pegulat sumo bisa mudah dikenali bila tampil di hadapan publik. Pada saat diangkat menjadi pegulat sumo, rambut pegulat sumo harus dipanjangkan agar bisa ditata seperti model rambut samurai zaman Edo yang disebut chonmage (rambut disanggul pada bagian atas kepala).
Pakaian dan aksesori yang dikenakan juga bergantung pada peringkat sang pegulat. Pegulat kelas Jonidan dan kelas di bawahnya hanya boleh mengenakan yukata sepanjang tahun termasuk di musim dingin. Sandal yang digunakan juga harus sandal dari kayu yang disebut geta. Pegulat divisi Makushita dan Sandanme boleh mengenakan mantel pendek untuk melapis yukata dan boleh mengenakan sandal bagus yang disebut zōri. Pegulat yang sudah termasuk kelas sekitori diizinkan untuk mengenakan mantel sutera sesuai dengan selera dan model rambut juga sudah makin bergaya dengan sanggul yang disebut o-ichō.
Pegulat sumo menjalani kehidupan sehari-hari di pusat latihan dengan latihan yang keras. Pegulat junior harus bangun paling awal sekitar jam 05:00 pagi untuk berlatih, sedangkan pegulat kelas sekitori boleh bangun sekitar jam 07:00 pagi. Pada saat pegulat kelas sekitori sedang berlatih, pegulat junior harus melakukan banyak pekerjaan seperti membersihkan rumah, memasak makan siang, menyiapkan air mandi, sampai menyediakan handuk bagi pegulat kelas sekitori yang mau mandi. Kesempatan mandi juga dibuat bergilir dengan kesempatan pertama mandi berendam diberikan untuk pegulat yang paling senior, diikuti pegulat kelas lebih rendah sampai pegulat paling junior yang mendapat giliran mandi berendam paling akhir. Begitu pula halnya dalam soal makan, pegulat senior selalu mendapat giliran makan lebih dulu.
Pegulat sumo biasanya tidak dibolehkan untuk sarapan pagi dan diharapkan untuk tidur siang setelah makan banyak. Pada umumnya, lauk yang disiapkan untuk pegulat sumo berupa “sup tradisional sumo” (chankonabe) berisi berbagai macam ikan, daging, dan sayur-sayuran yang dimasak di dalam panci besar (nabe). Chankonabe dimakan bersama nasi sampai sekenyang-kenyangnya agar pegulat sumo bisa cepat menjadi gemuk. Bir juga merupakan minuman yang dianjurkan bagi pegulat sumo. Pola makan tinggi kalori tanpa sarapan pagi membuat berat badan pegulat sumo tetap gemuk atau kalau bisa makin bertambah gemuk lagi supaya bisa menang dalam pertandingan.
Di petang hari, pegulat junior masih harus melakukan pekerjaan bersih-bersih dan pekerjaan lainnya sementara pegulat kelas sekitori sudah boleh bersantai, termasuk menghadiri acara-acara seperti acara temu penggemar. Pegulat yang masih muda seringkali masih harus pergi ke sekolah, walaupun kurikulum yang diikuti biasanya berbeda dengan anak sekolah biasa. Di malam hari, pegulat kelas sekitori boleh berjalan-jalan dengan para sponsor sementara pegulat junior harus tinggal di pusat latihan. Pegulat junior yang sudah ditunjuk sebagai kacung (tsukebito) oleh pegulat senior sering mendapat kesempatan menemani pegulat senior untuk berjalan-jalan. Pegulat senior boleh mengangkat kacung sebanyak mungkin dan pegulat junior menganggap pekerjaan sebagai kacung sebagai suatu kehormatan. Pegulat kelas sekitori hanya boleh membawa kacungnya yang paling senior ketika berjalan-jalan di luar.
Kehidupan pegulat Sumo dibagi dalam dua golongan besar: pegulat junior yang melayani dan pegulat senior yang dilayani. Pegulat kelas sekitori diberi kamar sendiri di pusat latihan dan jika sudah menikah boleh tinggal di apartemen sendiri sedangkan pegulat junior hanya dibolehkan tidur di asrama. Perlakukan pegulat senior terhadap pegulat sumo yang baru direkrut kabarnya sangat kejam sehingga banyak pegulat junior tidak tahan dan memutuskan untuk mengundurkan diri.
Pola hidup sumo bisa berakibat berbahaya bagi kesehatan pegulat sumo di kemudian hari. Pegulat sumo hanya mempunyai harapan hidup sampai sekitar umur 65 tahun (5-10 tahun lebih pendek dibandingkan rata-rata harapan hidup laki-laki Jepang). Pembela olahraga sumo mengatakan pegulat sumo memang makan lebih banyak dibandingkan orang biasa, tapi justru lebih sehat dibandingkan kebanyakan orang.

Gaji dan penghasilan
Berdasarkan data bulan Maret 2001, gaji bulanan pegulat kelas sekitori dalam mata uang Yen
Yokozuna: 2.820.000
Ozeki: 2.350.000
Sanyaku: 1.700.000
Maegashira: 1.300.000
Juryo: 1.030.000
Pegulat sumo kelas di bawahnya tidak menerima gaji dan hanya menerima uang saku yang jumlahnya kecil karena masih dianggap sebagai pegulat magang.
Selain gaji, pegulat sekitori juga menerima bonus tambahan mochikyukin yang diterima sebanyak 6 kali dalam setahun setiap mengikuti turnamen. Jumlah bonus mochikyukin bergantung pada prestasi kumulatif pegulat. Bonus mochikyukin terus bertambah besar setiap kali pegulat sumo mencetak kachikoshi. Semakin besar skor kachikoshi yang dicetak seorang pegulat makin besar pula kenaikan bonus yang diterima. Kenaikan bonus secara istimewa juga diberikan untuk pemenang kejuaraan Makuuchi, dengan bonus ekstra besar bagi juara yang memenangkan kejuaraan tanpa sekalipun kalah atau meraih penghargaan bintang emas (kinboshi) untuk Maegashira yang berhasil mengalahkan Yokozuna.
Pegulat sumo kelas Sanyaku juga menerima bonus tambahan pada setiap turnamen berdasarkan peringkatnya, tapi jumlahnya relatif kecil. Yokozuna menerima bonus tambahan setiap 2 kali turnamen yang dimaksudkan untuk membeli tali tambang baru yang dililitkan di pinggang pada saat upacara.
Pemenang setiap kejuaraan divisi menerima hadiah uang yang jumlahnya mulai 100 ribu yen untuk kemenangan di divisi Jonokuchi hingga 10 juta yen untuk kemenangan di divisi Makuuchi. Pegulat di divisi atas yang dinilai berprestasi luar biasa menurut dewan berhak mendapat 3 hadiah istimewa (sansho) yang masing-masing bernilai 2 juta yen.
Pertandingan divisi atas biasanya didukung perusahaan-perusahaan yang menjadi sponsor. Pegulat sumo yang menjadi pemenang biasanya menerima uang tunai bebas pajak sekitar 30.000 yen dari masing-masing sponsor. Hadiah dari perusahaan yang menjadi sponsor disebut kenshokin. Perusahaan yang mau menjadi sponsor pada pertarungan antara Yokozuna dan Ozeki biasanya berjumlah sangat banyak, sedangkan pertandingan pegulat di bawahnya kadang-kadang tidak didukung sponsor sama sekali. Kadang-kadang ada juga perusahaan yang mau menjadi sponsor pertandingan antar pegulat sumo kelas bawah kalau ada pegulat sumo kelas bawah yang digemari masyarakat. Pegulat yang menang secara otomatis karena lawan tidak muncul fusensho sama sekali tidak akan mendapat hadiah.
Turnamen sumo sering dituduh penuh dengan kecurangan dan kemenangan yang sudah diatur sebelumnya (yaocho). Kecurigaan ini disebabkan hadiah dalam jumlah besar yang berpindah tangan sesuai dengan peringkat pegulat sumo. Ada penelitian yang dilakukan tahun 2000 yang mengambil objek kalangan pegulat sumo sebagai sebuah sistem tertutup untuk meneliti korupsi. Menurut hasil penelitian, 70% pegulat sumo yang sudah memiliki skor 7-7 sebelum hari terakhir turnamen akan menang di hari terakhir turnamen.

Barang kenang-kenangan
Barang kenang-kenangan (memorabilia) khas dan paling mahal dalam olah raga sumo adalah cap telapak tangan (tegata) pegulat sumo yang dibuat dengan tinta merah atau tinta hitam dan dibubuhi tanda tangan nama pegulat dengan gaya kaligrafi. Duplikat dari tegata yang merupakan hasil cetakan mesin dijual dengan harga terjangkau sebagai cenderamata. Tidak semua pegulat sumo boleh membuat tegata, melainkan hanya pegulat sumo kelas Juryo dan Makuuchi.
Penonton sumo yang membeli tiket barisan paling depan yang mahal juga mendapat paket kenang-kenangan dari penyelenggara turnamen. Piring dan gelas dengan tema pegulat sumo juga menjadi cenderamata yang laku dijual. Daftar peringkat pegulat sumo pengikut turnamen yang disebut banzuke juga bisa menjadi benda kenang-kenangan karena ditulis dengan gaya kaligrafi yang indah.

Pegulat sumo amatir
Turnamen amatir sering diselenggarakan di Jepang untuk pegulat sumo amatir dari sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Pertandingan pada tingkat amatir tidak menggunakan segala macam ritual seperti pertandingan sumo profesional. Pegulat sumo amatir yang ingin menjadi pegulat sumo profesional diharuskan berusia muda (23 tahun ke bawah). Pegulat sumo amatir yang menjadi juara antar perguruan tinggi mendapat perlakuan khusus sewaktu memasuki jenjang sumo profesional dalam bentuk langsung dimasukkan ke dalam peringkat Makushita (nomor tiga dari bawah). Peringkat khusus untuk juara sumo antar perguruan tinggi disebut Makushita Tsukedashi yang merupakan peringkat yang berada di antara peringkat Makushita 15 dan 16. Sebagian besar pegulat sumo kelas Makuuchi memasuki dunia sumo profesional dari juara turnamen antar perguruan tinggi.
Sumo bukan merupakan olahraga yang dipertandingkan di dalam Olimpiade. International Sumo Federation sedang berusaha memasyarakatkan sumo ke seluruh dunia dengan mengadakan turnamen sumo amatir dengan pembagian kelas menurut berat badan.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!